Chapter 326: Awal dari Bencana
Chapter 326: Awal dari Bencana
Ketika sosok Randika muncul di hadapannya, resepsionis itu tersenyum dan menyapa Randika. Randika sendiri membalas sapaan tersebut dengan senyuman. Resepsionis itu ingat ketika dirinya bertemu dengan Randika pertama kalinya, pada saat itu dia tidak percaya bahwa Randika mengatakan bahwa dia adalah suami dari Inggrid Elina.
Namun, pada saat ini, dia tidak menyangka bahwa sepertinya Randika memanglah suami dari bosnya itu.
Ketika dia berjalan menuju lift, Randika terlihat tersenyum terus. Sepertinya sejak saat dia pulang ke Indonesia dia merasa bahwa hidupnya itu makin terberkati. Jika dia tahu bahwa bisa hidup bahagia bersama Inggrid, dia mungkin tidak akan berpetualang ke seluruh dunia. Tetapi jika dia tidak berkeliling dunia, maka kemampuannya tidak akan sehebat seperti sekarang.
Di laboratorium milik departemen parfum, orang-orang sedang sibuk bekerja. Para ahli parfum ini sedang berusaha mengejar target mereka yang terlambat itu. Namun, mereka harus tetap berhati-hati ketika meramu parfum-parfum ini.
Karena beberapa formula sangat sensitif dengan jumlah bahan yang dipakai, beda sedikit saja maka akan menghasilkan hasil yang berbeda.
Pekerjaan yang menuntut ketelitian ini sama dengan para ahli teknisi komputer ketika mengurus coding.
Ketika Randika masuk ke dalam ruangan, suara teriakan orang-orang dapat terdengar.
"Ambilkan bahan yang ada di lantai bawah."
"Jangan campur bahan itu dengan parfum tadi!"
"Siapa yang mengerjakan sampel nomor 5 ini? Sudah kubilang kan bau yang aku inginkan itu bukan lavender."
Di tengah-tengah situasi yang memanas ini, Randika dengan santai berjalan menuju tempat duduknya. Melihat orang-orang ini bekerja keras, Randika merasa tidak enak. Namun, dia segera membuang rasa bersalah tersebut!
Bukankah posisinya di perusahaan ini sudah sama dengan Inggrid? Karena perusahaan ini milik istrinya berarti perusahaan ini miliknya bukan? Kenapa dia harus merasa bersalah? Bukankah perusahaan ini membayar besar jasa mereka?
Randika lalu bermain HP dengan santai. Ketika beberapa bawahannya itu melihat Randika yang santai, mereka semua tersenyum pahit. Rasa iri hati selalu tumbuh ketika melihat rumput tetangga yang lebih hijau.
Pada saat ini, Viona yang habis mengambil bahan dari lantai lain masuk ke dalam ruangan dan melihat sosok Randika. Sambil terkejut, dia menghampiri Randika. "Randika?"
"Hahaha, apa kamu terkejut melihatku?" Randika langsung mengantongi HP miliknya.
Viona tersenyum dan duduk di samping Randika. "Bukan begitu, aku pikir kamu tidak masuk hari ini. Jadwal masukmu itu sungguh aneh tahu!" Katanya sambil menjulurkan lidahnya.
Viona lalu kembali bekerja, sedangkan Randika mulai menilai penampilan Viona hari ini. Hmm hari ini dia memakai stocking berwarna hitam, benar-benar menggoda.
Yah apa pun yang dipakai Viona menurutnya akan cocok, lagipula Viona memanglah perempuan yang cantik.
Pikiran Randika mulai ke mana-mana. Melihat Viona yang polos itu bekerja, Randika sudah berandai-andai bahwa dirinya menindih perempuan ini di atas meja. Belum lagi Randika mengingat-ingat pakaian dalam yang dimiliki Viona, selera Viona memang bagus. Apakah sekarang dia sedang memakai Thong? Ah memikirkannya saja sudah membuat adiknya menjadi keras.
Akhirnya Randika membulatkan tekadnya, dia harus berhubungan badan dengan Viona secepat mungkin.
Bagaimanapun juga, Viona adalah calon anggota haremnya.
"Vi, apa kamu bisa membantuku mengambil barang di bawah?" Tanya Randika sambil tersenyum.
Mendengar hal ini wajah Viona menjadi merah, tentu dia mengerti arti ajakan Randika ini. Tetapi ketika melihat rekan-rekannya itu sibuk semua, Viona menguatkan diri untuk menolak ajakan Randika.
Randika yang melihat penolakan ini hanya bisa tersenyum pahit.
Randika kembali bermain HP dan, pada saat ini, tiba-tiba ada panggilan tidak dikenal di HPnya.
Dia lalu berjalan keluar dari ruangan dan ternyata yang meneleponnya adalah Jeffry.
"Randika ya? Terima kasih banyak atas bantuanmu, anakku sudah sehat!"
Suara Jeffry terdengar bahagia dan bersemangat, dia tidak menyangka anaknya itu akan benar-benar sembuh. Awalnya dia sama sekali tidak percaya dengan Randika, tetapi setelah memeriksanya di rumah sakit, dokter mengatakan tidak ada penyakit lagi di tubuh Felicia. Jadi bisa dikatakan bahwa anaknya itu sudah terlepas dari belenggu yang menahannya sejak dia masih kecil.
Randika sendiri tersenyum di balik telepon. "Sama-sama."
"Aku tidak tahu harus berbuat apa kalau tidak bertemu denganmu." Jeffry masih merasa rasa terima kasihnya itu tidak cukup. "Om juga minta maaf dengan kata-kataku yang kurang ajar sebelumnya. Maaf kalau aku tidak terlalu mempercayaimu sebelumnya."
"Aduh sudah jangan khawatir." Randika tertawa. "Aku sendiri sudah lupa kok om mengatakan apa."
"Hahaha." Jeffry juga tertawa. "Ayu pasti bangga mempunyai menantu sepertimu. Oh ya, apa kamu sedang bekerja sekarang? Kapan kamu libur? Om ingin mentraktirmu makan malam."
"Aduh om tidak usah repot-repot. Aku sendiri tidak berbuat banyak kok."
"Justru tidak mentraktirmu apa-apa itu om merasa bersalah." Jeffry mengerutkan dahinya. "Kamu benar-benar penyelamat hidupnya anakku. Sudah jangan khawatir, nanti kalau kamu menikah amplopnya om itu pasti yang paling tebal kok. Kamu pasti bisa beli mobil atau mencicil rumah dengan uang itu nanti. Kalau kamu merasa kurang, kamu tinggal telepon om saja kok. Tetapi om sendiri merasa sayang kamu sudah punya calon istri. Kalau tidak anaknya om ini sudah siap jadi istri yang baik lho."
Kata-kata Jeffry awalnya membuat Randika tidak enak hati, tetapi kalimat terakhir membuatnya tersenyum pahit. Lagi-lagi urusan menikah, kenapa orang tua jaman sekarang mudah sekali menawarkan anaknya?
Randika tahu bahwa dirinya itu memang tampan dan gagah, tetapi dia tidak menyangka para orang tua yang ditemuinya itu semuanya mulai menawarkan anaknya padanya.
Randika mau membalas, tetapi tiba-tiba, gedungnya itu mulai berguncang.
Guncangan ini benar-benar terlalu mendadak, seakan-akan fondasi yang menopang seluruh gedung itu goyang. Semua orang yang di dalam gedung ini langsung bersembunyi di bawah meja, mereka sendiri mulai ketakutan.
Guncangan ini tiap detiknya makin besar. Tetapi sama seperti kedatangannya, guncangan itu tiba-tiba berhenti begitu saja.
Semuanya mulai keluar dari bawah meja satu per satu, mereka mengira bahwa gempa ini akhirnya telah selesai. Untungnya saja tidak ada yang terluka.
Randika sendiri merasakan guncangan ini, ketika dia hendak memeriksa apa yang tengah terjadi, guncangan itu akhirnya berhenti.
"Aku rasa ini cuma gempa kecil, sudah semuanya kembali bekerja!" Teriak Kelvin.
"Aduh kejam sekali pak Kelvin ya." Keluh seseorang dengan suara yang pelan.
"Sialan, kenapa kantor ini tidak ambruk saja biar kita libur sebulan!"
Orang-orang dengan cepat kembali bekerja, tentu saja gempa sekecil tadi tidak mungkin bisa merobohkan gedung tinggi ini.
Randika yang berdiri di aula koridor sudah mengerutkan dahinya dengan hebat. Ada yang tidak beres!
Guncangan ini bukan mirip gempa, dia sering merasakan guncangan seperti ini ketika dia berkeliling dunia.
Pada saat itu, untuk memancing dirinya keluar, musuhnya itu meledakan seluruh bangunan. Guncangan ini persis dengan yang dirasakannya sebelumnya.
Insting Randika mengatakan bahwa gedung ini dalam bahaya. Pada saat ini tiba-tiba ada suara ledakan dari ruangan yang tidak jauh darinya.
DUAR!
Ledakan itu memecahkan semua kaca jendela dan disusul oleh ledakan berikutnya.
DUAR!
Suara ledakan ini tidak terdengar dari satu lantai saja, sepertinya ledakan ini terjadi di lantai yang berbeda. Orang-orang mulai berlarian dengan panik.
"Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" Gumam Randika.