Chapter 157: Aku Tidak Akan Melepasmu Begitu Saja
Chapter 157: Aku Tidak Akan Melepasmu Begitu Saja
Ciuman pagi hari tadi benar-benar masih membekas di bibir Randika. Bibir istrinya itu benar-benar lembut dan rasanya luar biasa nikmat.
Karena sudah tidak ada pekerjaan yang mendesak, tentu saja Randika ingin bermesraan dengan Inggrid.
Membuka pintu ruangannya Inggrid, Randika tersenyum. Tetapi dia terkejut ketika melihat tidak ada orang di dalamnya.
Jarang sekali melihat Inggrid tidak ada di ruangannya jam segini. Apa dia sedang rapat?
Randika kemudian duduk di kursi Inggrid dan memutuskan untuk menunggunya di sini.
"Lama sekali rapatnya, aku lama-lama menjamur." Setelah menunggu selama setengah jam, Randika sudah membaca semua dokumen yang ada di meja Inggrid dan Inggrid sama sekali belum datang.
"Kucari saja deh." Randika tidak mempunyai pilihan untuk mencari di mana Inggrid sedang rapat. Tetapi ketika dia sampai di ruang rapat, dia menyadari bahwa sama sekali tidak ada orang di sana.
Pada saat ini Randika sudah merasakan firasat buruk. Di manakah Inggrid? Kalau dia tidak rapat kenapa dia tidak ada di ruangannya? Apa dia pergi ke perusahaan lain?
Randika mengerutkan dahinya dalam-dalam, namun pada saat ini sekretaris Inggrid keluar dari salah satu ruangan.
"Kamu melihat Inggrid?" Tanya Randika.
"Tidak, bukannya Bu Inggrid hari ini tidak masuk?" Sekretaris itu mengerutkan dahinya. "Saya sudah menelepon handphonenya tapi sama sekali tidak diangkat. Bahkan aku rasa handphonenya mati."
Tidak masuk?
Firasat buruk Randika makin besar. Kalau Inggrid tidak masuk, kenapa dia mengatakan akan masuk ke kantor?
Dalam sekejap satu dugaan muncul di benak Randika, Inggrid meninggalkan dirinya!
Memikirkan hal ini, Randika langsung berlari menuju pintu keluar.
"Pak, ada apa pak?" Sekretarisnya Inggrid itu benar-benar bingung melihat Randika yang tiba-tiba berlari. Randika tidak memedulikannya dan cepat-cepat menuju lift. Hatinya sekarang dipenuhi dengan rasa cemas. Jika istrinya itu benar-benar meninggalkan dirinya, dia pasti akan mengambil barang-barangnya yang ada di rumah!
Randika dengan cepat berlari menuju rumahnya, kecepatannya benar-benar bagaikan cahaya. Orang-orang hanya bisa melihat sebuah bayangan hitam melewati mereka, tidak mengerti sosok apakah itu.
Tanpa berhenti satu detik pun dan tidak peduli dengan tubuhnya, Randika berhasil mencapai rumahnya.
Saat dia masuk ke ruangan tengah, sudah tidak ada apa-apa. Semuanya telah kosong!
Randika langsung berlari ke lantai atas dan membuka kamar Inggrid, kamar tersebut juga telah kosong.
Randika yang panik tidak bisa berpikir jernih, dia tidak tahu istrinya itu pergi ke mana.
Randika lalu duduk di sofa di lantai bawah. Pada saat ini, matanya tertuju pada sebuah kertas yang berada di atas meja.
Apabila diperhatikan, tulisan rapi itu ternyata adalah tulisannya Inggrid. "Terima kasih untuk selama ini, aku mencintaimu."
Randika terdiam ketika melihat tulisan itu.
Randika bingung kenapa Inggrid tiba-tiba meninggalkan dirinya, dia benar-benar cemas.
Menemukan keberadaannya benar-benar merupakan hal terpenting untuk sekarang. Ke mana kira-kira Inggrid akan pergi?
Ah, Ibu Ipah!
Randika tiba-tiba teringat dengan pembantu super satu itu, dia pasti tahu ke mana Inggrid pergi. Dengan cepat Randika berlari ke kamar Ibu Ipah. Namun, ruangan tersebut juga kosong.
Randika benar-benar merasa tidak berdaya. Mengingat-ingat pagi tadi, kelakuan istrinya itu benar-benar tidak biasa. Kenapa dia tidak menyadarinya?
Sambil merasakan darahnya mendidih, Randika mengepalkan tinjunya.
Aku tidak akan melepasmu begitu saja. Walau ke ujung bumi, aku akan menemukanmu!
Namun, Randika tidak bisa melakukan semua ini sendirian. Dia harus mencari bantuan. Dia lalu teringat pada Elva dan Deviana, meminta bantuan mereka pasti akan menghemat waktunya. Tidak tahu cara untuk menghubungi Elva, Randika memutuskan untuk menemui Deviana. Dia akan meminta bantuannya dan memeriksa kamera di bandara dan stasiun kereta api.
Tanpa ragu-ragu, Randika berlari menuju kantor polisi di mana Deviana berada.
Di kantor polisi, dua polisi sedang asyik mengobrol. Randika tiba-tiba mendobrak pintu masuk.
"Hei, kamu tidak bisa mendobrak masuk begitu saja." Kata seorang polisi yang marah terhadap Randika.
"Aku mencari Deviana." Kata Randika dengan napas tertatih-tatih.
"Dia memang ada di sini, kamu siapanya ya?"
Mendengar basa basi ini, Randika tidak punya waktu dan langsung menerobos masuk.
"Hei, kamu tidak boleh masuk sembarangan." Kedua polisi ini segera mengejar Randika. Pada saat ini, Randika berhasil menemukan Deviana.
"Randika?"
Deviana terkejut ketika melihat sosok Randika, kenapa dia bisa ada di sini?
Pada saat ini, kedua polisi tadi akhirnya berhasil mengejar. "Pria ini menyarimu dan tiba-tiba menerobos masuk tanpa ijin. Apa dia memang kenalanmu?"
"Benar ini temanku." Kata Deviana sambil mengangguk.
Mendengar respon Deviana, kedua polisi ini kembali ke posisinya semula. Namun pada saat ini, polisi muda yang ada di dekat Randika itu mengerutkan dahinya.
Mau apa pria tidak dikenal ini sama pujaan hatinya?
"Aku minta tolong carikan seseorang dari kamera CCTV." Kata Randika.
Deviana menatap Randika, dia tahu bahwa Randika sedang terburu-buru dan terlihat cemas. Tanpa berpikir panjang Deviana mengangguk setuju.
"Terima kasih!"
Polisi muda yang memperhatikan mereka dari samping tiba-tiba merasakan firasat buruk. Dia sudah lama mengejar dan berusaha merebut hati Deviana tetapi dia tidak pernah mendapatkan respon yang bagus. Kedatangan pria tidak dikenal ini membuat dirinya cemburu dan tidak rela melepas Deviana begitu saja.
Terlebih, kenapa tatapan pujaan hatinya itu terlihat lembut?
Hati Ruhul benar-benar merasa cemas.
"Dev, kamu tidak boleh memberi bantuan seperti itu pada orang asing." Ruhul tiba-tiba nimbrung.
"Tidak apa-apa, orang ini temanku. Dia sudah membantu kita berkali-kali." Kata Deviana sambil mengoperasikan komputernya.
"Mau dia temanmu atau bukan, kamu tetap melanggar peraturan." Kata Ruhul.
Deviana menatap Ruhul dan berkata dengan nada dingin. "Aku akan bertanggung jawab kalau ada masalah."
Mendengar kata-kata Deviana yang dingin, Ruhul sama sekali tidak bisa apa-apa.
Sedangkan Randika, dia tidak punya waktu dan tenaga untuk meladeninya. Pikiran dan tenaganya sekarang benar-benar terfokus untuk mencari Inggrid.
"Kamu ingin memeriksa kamera pada jam berapa?" Tanya Deviana.
"Dari jam 8 pagi. Periksalah kamera bandara terlebih dahulu." Jawab Randika.
Deviana mengangguk. Setelah menelepon beberapa kali dan menggunakan otoritasnya, video dari kamera bandara Cendrawasih berhasil didapatkannya. Randika langsung melototi video tersebut.
"Percuma kamu ingin memeriksa itu dengan mata telanjang. Mana mungkin bisa kamu menemukannya di antara lautan manusia itu?" Sindir Ruhul.
Randika tidak menjawab, matanya terfokus pada video tersebut dan sama sekali tidak melewatkan satu wajah pun. Jika Inggrid benar-benar meninggalkan kota, dia hanya punya dua cara : bandara dan stasiun kereta api. Namun, bandara seharusnya memiliki persentase yang lebih besar.
"Hush, siapa suruh kamu berkomentar?" Deviana mengangkat kepalanya, tatapan matanya benar-benar dingin. Kenapa Ruhul masih ada di sini?
"Aku hanya berkata apa adanya. Itu sama saja mencari jarum di tengah tumpukan jerami." Ruhul menghela napas.
Randika sama sekali tidak berkomentar. Dia masih melototi layar komputer, kamera keamanan benar-benar banyak. Namun, Deviana menyarankan Randika untuk berfokus pada pintu masuk. Jika orang yang dicarinya itu benar-benar pergi lewat bandara maka dia pasti muncul di kamera pintu masuk.
"Siapa yang kamu cari?" Tanya Deviana.
"Inggrid Elina." Jawab Randika sambil terus melototi layar.
Deviana terkejut, Randika mencari bos perusahaan Cendrawasih?
Tetapi Ruhul yang di samping justru terlihat sedang tersenyum. "Bos perusahaan Cendrawasih menghilang? Kamu ini sungguh lucu. Kalau dia benar-benar menghilang bukankah itu sudah menjadi berita menghebohkan dan kantor kita sudah penuh dengan wartawan."
"Kenapa kamu masih ada di sini? Pergi sana." Deviana sudah muak, wajah cantiknya sudah hilang.
"Aku cuma mengatakan yang sebenarnya." Ruhul menggelengkan kepalanya. Namun, melihat Randika yang tetap tidak menjawab, dia makin besar kepala. "Kejujuran memang menyakitkan."
Deviana mendengus dingin, tetapi melihat Randika yang tidak berkomentar dia hanya bisa pasrah.
"Ah, tapi aku sendiri penasaran. Apa hubunganmu dengan wanita tercantik dan terkuat di kota ini?" Ruhul makin besar kepala karena Randika sama sekali tidak melawannya. "Atau jangan-jangan kamu ini laki-laki yang mengincarnya juga? Dan Inggrid berusaha lepas darimu jadi dia meninggalkan kota ini?"
Api amarah mulai berkobar di hati Randika, tetapi dia harus fokus mencari keberadaan Inggrid. Dia sama sekali tidak punya waktu meladeni cecunguk!
"Hahaha atau jangan-jangan dia kekasih gelapmu? Dan sekarang setelah dia tidak puas denganmu dan kabur kamu berusaha mencarinya?" Ruhul tertawa keras dan pada saat ini, Randika yang sama sekali tidak berkomentar akhirnya berbicara.
"Jika satu kata lagi keluar dari mulutmu, aku akan membunuhmu." Aura membunuh Randika mulai bocor!
Ancaman kosong itu membuat Ruhul sama sekali tidak takut, dia justru tertawa. "Aku akan dengan senang hati melihatmu mencoba membunuhku."
Melihat Randika sama sekali tidak melawan, Ruhul makin menjadi-jadi. "Aku heran kenapa kau masih mengejarnya? Bahkan kau sampai datang ke tempat ini dan mencarinya dengan susah payah. Kau tahu kenapa kau tidak bisa menemukannya? Karena dia sudah membuangmu!"
Ruhul tertawa sekali lagi, tetapi, dia melihat Randika menatap dirinya dengan tatapan mata seekor serigala. Suara tertawanya itu berhenti dengan cepat.
Kenapa tatapan pria itu seperti hewan yang buas?
Ruhul tiba-tiba merinding, dan pada saat ini, tiba-tiba Randika sudah berada di depannya!
Dalam sekejap, tangan kanan Randika sudah mencekik erat tenggorokan Ruhul. Kekuatan tangannya itu benar-benar membuat Ruhul tidak bisa bernapas.
Dia merasa lehernya akan patah, tangan yang meremas lehernya itu sama sekali tidak melemah.
KRAK!
Sepertinya suara tulang patah sebentar lagi akan terdengar keras. Ruhul sudah takut bukan main, dia menatap Randika dengan ekspresi panik.
"Randika!"
Deviana dengan cepat berteriak, dia sangat paham kekuatan Randika. Dia khawatir Randika akan menggila lagi seperti kapan hari. Hari di mana dia membuat atasannya memakan peluru hingga masuk rumah sakit. Namun saat ini berbeda, Randika melakukannya di markas polisi dan di hadapan para polisi.
Polisi yang memakan peluru itu, Rohim, sudah keluar dari rumah sakit dan mengundurkan diri tanpa menjelaskan apa-apa. Dan sekarang Ruhul sedang dalam bahaya.
Randika sama sekali tidak berbicara, tangan kirinya tampak memukul perut Ruhul. Ruhul merasa nyawanya kian mendekati ujungnya dan rasa sakit di perutnya sudah hampir tidak terasa.
Deviana bisa merasakan niatan Randika yang hendak membunuh Ruhul. Dia dengan cepat menahan Randika dan berbisik di telinganya. "Ran sudah, pikirkan Inggrid. Kamu masih ada tugas yang lebih penting."
Randika tidak menjawab, dia hanya menatap Ruhul yang melayang itu. Para polisi sudah siaga ketika melihat adegan ini. Bahkan beberapa polisi sudah mencabut pistol mereka dan membidik Randika.
Melihat wajah Ruhul yang sudah pucat pasi, Randika melepas genggamannya. Tiba-tiba Ruhul jatuh dengan keras di lantai.
Tanpa berkata apa-apa, Randika kembali duduk dan melototi layar komputer. Deviana akhirnya bisa bernapas lega.
Sedangkan untuk Ruhul, yang sedang duduk di lantai, bernapas dengan terengah-engah. Dia melihat sosok Randika yang diselimuti aura mengerikan itu, dia merasa bahwa pria itu bisa membunuhnya kapan pun dia mau.
Ketakutan menyelimuti mata Ruhul dan rasa sakit di lehernya masih terasa. Belum lagi perut yang ditinju Randika tadi benar-benar menyakitkan.
Dia lalu berdiri denan susah payah dan meninggalkan tempat itu.
Randika benar-benar tidak peduli dengannya, matanya kembali fokus pada layar.
Pada saat ini, setengah jam sudah berlalu. Tiba-tiba Deviana berhasil menemukan sosok Inggrid. "Itu dia!"
Randika langsung memperhatikannya. Seorang wanita cantik dengan topi jeraminya dan seorang wanita paruh baya mengikutinya dari belakang.
Jelas mereka adalah Inggrid dan Ibu Ipah!
Hati Randika langsung bergembira, akhirnya dia menemukan Inggrid!
"Bisa kamu periksa tujuan mereka ke mana?" Randika menatap Deviana.
"Tunggu sebentar, aku akan memintanya."
Randika menunggu dengan sabar, Deviana memerlukan beberapa kali telepon. Setelah menjelaskan situasi dan menggunakan otoritasnya sebagai penegak hukum, Deviana berhasil mendapatkan informasinya.
"Mereka berdua memesan tiket untuk ke Jakarta." Kata Deviana.
Tentu saja, kenapa Randika sama sekali tidak menyadarinya.
"Apa kamu akan mengejarnya?" Deviana menatap Randika. Dia samar-samar menduga bahwa Inggrid adalah orang penting di hidup Randika.
Sambil mengangguk pelan, Randika mengatakan. "Terima kasih atas bantuanmu."
"Kamu sudah berkali-kali menolongku dan aku belum pernah berterima kasih. Kenapa sekarang kamu berterima kasih?" Deviana mengerutkan dahinya.
Randika sedikit terkejut, dia lalu tersenyum. "Kalau begitu, lain kali biarkan aku mentraktirmu makan."
"Nah itu baru Randika yang kukenal." Kata Deviana sambil tersenyum.
Melihat sosok Randika yang pergi, Deviana merasakan akan ada badai yang melanda kota ini.
Setelah pergi dari kantor polisi, Randika dengan cepat memesan tiket untuk ke Jakarta. Namun, tiba-tiba dia kepikiran soal Indra.
Indra datang bersamanya ke kota ini karena arahan kakeknya. Dia tidak tahu akan berapa lama berada di Jakarta. Jadi lebih baik dia mengabari keadaannya pada Indra.
Saat dia tiba di rumah Indra, dia melihat Indra sedang menyuapi boneka ginseng. Boneka itu sedang memakan bubur, boneka itu disuapi Indra dan memakannya dengan mulut kecilnya. Indra seperti ayah yang baru mempunyai anak.
"Lho kakak! Kenapa kau datang lagi?" Melihat Randika yang tiba-tiba datang, Indra sedikit bingung.
"Aku ingin memberitahumu kalau aku akan pergi ke Jakarta sementara waktu. Aku tidak tahu kapan akan pulang." Kata Randika.
"Ngapain kakak mau ke Jakarta?" Indra tampak bingung, mau apa memangnya kakak seperguruannya itu pergi ke ibukota?