Chapter 141: Randika di Hati Ibu Ipah
Chapter 141: Randika di Hati Ibu Ipah
Boneka ginseng ini berusaha melepaskan dirinya selama beberapa saat, tetapi semua itu percuma. Genggaman tangan Randika benar-benar luar biasa kuat.
Setelah sukses menangkap boneka ginseng ini setelah sekian lama, tanpa berpikir panjang Randika langsung menuju dapur dengan wajah penuh gembira.
Sebelum boneka ini diolah menjadi obat, lebih baik menggorengnya atau merebusnya? Boneka ginseng ini benar-benar terlihat enak.
Tetapi apakah efeknya akan berbeda kalau metode mengolahnya berbeda?
Randika lalu berpikir sejenak sambil memandang boneka ginseng yang ada di tangannya. Namun, dia melihat bahwa wajah boneka itu terlihat sangat memelas dan kedua matanya membengkak seakan-akan telah menangis seharian.
Randika tidak peduli dan merasa bangga. Sekarang di mana sikap arogan milik si boneka ginseng ini?
Setelah mengambil tali rafia, Randika mengikat erat si boneka ginseng ini dan membuatnya melayang di udara.
Kali ini boneka itu tidak akan bisa lepas dari dirinya.
Randika hanya tertawa melihat boneka itu bergelantungan di udara. Namun, boneka itu terlihat sedang memohon pada Randika agar dia melepaskan dirinya sambil mengeluarkan suara orang sedang bersedih.
Melihat boneka ini, Randika merasa hatinya sedikit tergerak. Mungkin merebus dan membuatnya menjadi obat bukanlah keputusan yang bagus.
Tetapi pemikiran tentang luka di tubuhnya dan pengkhianatan Bulan Kegelapan dan yang lain, membuat tekad Randika menjadi bulat. Demi keberlangsungan hidupnya dan menjaga teman-temannya, dia harus menyembuhkan dirinya.
Setelah merebus boneka ginseng ini, Randika berniat membawanya kembali ke gunung untuk diberikannya pada kakek ketiga. Baru setelah itu kakeknya dapat membuat obat bagi dirinya.
Terlebih dengan pengetahuan kakeknya mengenai teknik pengobatan tradisional, kakeknya itu bisa memaksimalkan potensi dari boneka ginseng ini. Bagaimanapun juga, seluruh tubuh boneka ginseng itu merupakan harta karun.
Setelah sempat ragu, Randika menyalakan kompor dan merebus air. Dia lalu mengambil sehelai kain dan sudah siap untuk membungkus boneka ginseng itu. Namun, boneka itu tiba-tiba mengeluarkan suara tangisnya.
Boneka ginseng, yang melihat dirinya akan mati, menangis sejadi-jadinya.
Mendengar suara tangisan boneka ini, hati Randika kembali melunak. Dia hanya menatap bingung pada boneka ginseng tersebut.
Boneka itu benar-benar merasa putus asa, dia menangis seperti bayi dengan tangannya terus menggosok matanya. Bahkan air matanya berwarna putih.
Boneka ini ternyata menangis sungguhan?
Randika terkejut, boneka ini benar-benar seperti makhluk hidup.
Tiba-tiba Randika langsung merasa tidak tega. Bagaimanapun juga, boneka ginseng ini merupakan makhluk hidup yang berhasil hidup setelah tertanam dan menyerap esensi bumi selama ratusan tahun.
Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh godaan untuk menyembuhkan tubuhnya yang terluka itu. Randika benar-benar terjebak di dua pilihan yang sulit.
Di satu sisi dia merasa kasihan pada boneka ginseng ini, di lain sisi dia kepikiran dengan kondisi tubuhnya.
"Hei ayolah, kenapa kau tiba-tiba menjadi cengeng?" Kata Randika. Tetapi boneka ginseng itu sepertinya tidak dapat mendengarnya karena masih ketakutan kehilangan nyawanya. Justru ia makin keras menangisnya.
"Aku sebenarnya tidak ingin membuatmu menjadi obat. Aku hanya ingin sebagian darimu untuk membantuku memulihkan diriku." Kata Randika sambil menggarukan kepalanya.
Boneka ginseng itu masih tidak memperhatikan dirinya, bahkan daun di atas kepalanya ikut layu. Ia tampak menyedihkan.
Randika mengerutkan dahinya, hatinya masih merasa ragu. Setelah beberapa saat, Randika tersenyum pahit. "Lukaku ini sangat parah, aku harus bertahan hidup demi orang-orang sekitarku. Aku harap kamu mengerti."
Lagi-lagi dia masih dicueki dengan si boneka ginseng itu. Ia masih menangis sambil terkadang memohon pada Randika untuk melepaskannya.
Dihadapi dengan keimutannya, Randika benar-benar sudah tidak tahan. Jika boneka ginseng ini hanya sebuah ginseng biasa, dia sudah merebusnya sejak lama. Tetapi boneka ini berbeda.
Bisa dikatakan ginseng ini merupakan makhluk hidup bukan tanaman. Kehidupan yang dibentuk oleh ratusan tahun.
Randika menghela napas dalam-dalam, lalu dia memotong tali rafianya dan melepaskan ikatan pada boneka ginseng. Randika lalu berkata dengan wajah sedih. "Aku akan membiarkanmu pergi kali ini. Lain kali kalau aku berhasil menangkapmu jangan harap ini terulang lagi. Pergilah."
Setelah memotong tali tersebut, hati Randika masih menyimpan rasa tidak rela. Sejak kapan dia melunak seperti ini? Benar-benar disayangkan.
Memalingkan wajahnya, Randika kemudian merebus sup obat resep kakeknya itu. Suara tangis boneka ginseng itu perlahan sudah tidak terdengar. Melihat sosok Randika yang mengabaikannya itu, boneka ini masih tidak dapat mempercayai apa yang telah terjadi.
Tatapan matanya menjelaskan semuanya, kamu akan melepaskanku?
Mengangkat tangannya, boneka ini tersadar bahwa tali yang mengikatnya sudah tidak ada dan dia benar-benar bisa pergi dari sini.
Randika terlihat memotong-motong dan sibuk merebus. Ketika dia tersadar bahwa boneka ginseng itu masih ada di sini, dia mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu tidak pergi? Kamu mau ikut masuk ke dalam panci ini?"
Namun, boneka ginseng ini terlihat tersenyum dan lari ke arah kaki Randika. Ia lalu merangkak naik dan duduk di pundak Randika.
Baru saja dia melepaskannya ternyata boneka ini sudah mau mengejeknya lagi?
Namun, ternyata boneka ginseng itu malah mencium pipi Randika!
MUACH!
Suaranya sangat keras dan sangat jelas. Hal ini membuat Randika menjadi bingung, boneka ginseng ini juga memiliki perasaan?
Di dalam hatinya Randika tidak tahu harus menangis atau bahagia. Dia adalah orang yang memiliki prinsip. Selain dari laki-laki, orang yang sudah tua, orang jelek, siapapun boleh mencium dirinya. Dia tidak menyangka bahwa makhluk supernatural seperti boneka ginseng ini akan menciumnya.
Sepertinya prinsipnya ini harus diubah ke depannya, hanya manusia yang boleh menciumnya. Sekarang wajah Randika dipenuhi dengan senyuman pahit.
Namun, boneka ginseng itu benar-benar sedang gembira. Dia masih duduk di pundak Randika dan merangkul lehernya. Kemudian dia mencium pipi Randika sekali lagi.
"Sudah terserah kamu saja deh." Randika hanya bisa pasrah dicium. Sejak kapan boneka ginseng ini punya perasaan padanya, bukannya semenit yang lalu dia berusaha merebusnya?
Kemudian boneka ginseng itu tetap duduk di pundak Randika dan melihat panci rebusan obat itu. Setelah berpikir sesaat ia menjulurkan tangannya.
Randika menatapnya dengan ekspresi penasaran, setelah itu dia melihat bahwa ada manik-manik berwarna putih keluar dari tangan si boneka ginseng.
Sesaat kemudian boneka ginseng itu menjulurkan tangannya pada Randika. Randika terkejut karena boneka ginseng ini mau memberikan darahnya yang berharga itu padanya.
"Untukku?" Tanya Randika untuk memastikan.
"Hmm."
Boneka itu menganggukan kepalanya sambil memberikannya pada Randika.
Melihat manik-manik ini, Randika merasa senang. Dia sudah melihat sendiri keajaiban yang dibawa oleh setetes darah dari boneka ginseng.
Dia dengan cepat mencari tabung reaksi dan menyimpannya. Lalu Randika berkata sambil tersenyum. "Kalau begitu kita impas."
Pada saat yang sama, pintu rumahnya terbuka. Randika lalu menyadari bahwa Ibu Ipah telah kembali dari pasar.
"Selamat datang." Kata Randika sambil tersenyum.
"Lho nak Randika kok sudah pulang?" Wajah senyum Ibu Ipah itu segera berubah ketika dia melihat sosok boneka yang ada di pundak Randika.
Apakah itu adalah boneka sesuai dugaannya?
Ibu Ipah mengerutkan dahinya dan menyipitkan matanya. Boneka itu benar-benar mirip dengan apa yang dilihatnya dalam buku.
"Ah iya, perkenalkan ini adalah boneka ginseng. Ini semacam keajaiban alam." Melihat Ibu Ipah yang terdiam, Randika segera menjelaskan.
Dugaannya benar!
Ibu Ipah benar-benar terkejut. Dan ketika Ibu Ipah berusaha memegangnya, boneka ginseng ini mengeluarkan suara "ah!" dan melompat turun dari pundak Randika.
Boneka itu benar-benar hidup!
Keterkejutan Ibu Ipah sudah mencapai puncaknya. Dia awalnya tidak mempercayai isi buku yang dibacanya tetapi setelah melihat secara langsung dia hanya bisa tertegun.
Keajaiban alam, esensi bumi dan langit yang menciptakan kehidupan.
Namun pada saat ini boneka ginseng itu terlihat melambaikan tangan pada Randika dan menghilang tanpa jejak.
"Ke mana dia pergi?" Ibu Ipah berusaha mencarinya.
"Oh, dia mungkin pergi lagi. Lain kali pasti dia kembali ke rumah ini lagi." Kata Randika sambil tersenyum.
Melihat senyuman dan ketenangan dalam diri Randika, Ibu Ipah merasa harus meninjau ulang Randika. Pada awalnya dia hanya mengira Randika hanyalah orang biasa. Namun, setelah beberapa serangan dalam rumah dan di rumah sakit, dia merasa bahwa Randika bukan orang biasa. Tetapi dia tidak terlalu memikirkannya karena ilmu bela diri yang dikuasai Randika itu mungkin berasal dari ajaran orang tuanya agar dia bisa mempertahankan dirinya.
Jadi Ibu Ipah tidak terlalu memedulikannya. Dalam hatinya selama ini, Ibu Ipah hanya menilai bahwa Randika adalah orang biasa yang bisa berkelahi. Tetapi setelah kejadian ini nampaknya dia harus mengubah penilaiannya.
Bisa dikatakan bahwa boneka ginseng itu sangat tidak ternilai harganya. Bagaimana mungkin Randika terlihat akrab dengannya?
Menurut buku yang dibacanya, boneka ginseng benar-benar sulit untuk ditemukan dan ditangkap. Jelas Randika memiliki teknik tersembunyi hingga boneka ginseng itu tidak menganggap Randika sebagai ancaman.
Sekarang sosok Randika menjadi sosok mencurigakan dan perlu diawasi dalam hati Ibu Ipah.
"Sepertinya nona berurusan dengan orang tidak biasa." Ibu Ipah menghela napas di dalam hatinya. Namun, dia merasa sedikit lega karena kabarnya ayahnya Inggrid mengirim orang untuk membantu dirinya. Dengan bantuan tambahan itu, jika Randika macam-macam dengan nona mudanya maka dia tidak perlu khawatir lagi.
"Oh iya, ibu hari ini mau masak kepiting lho. Nanti ibu akan memasaknya untuk makan malam."
Randika langsung bergembira, masakan Ibu Ipah benar-benar enak. Mendengar kata kepiting mungkin dia bisa menghabiskan 10 kg kepiting kalau dia mau.
"Aku sudah tidak sabar!" Kata Randika sambil tersenyum.
Setelah meminum sup obatnya, Randika kembali ke kamarnya dan menghubungi Yuna tentang kemajuan pembangunan markasnya. Mereka berbincang-bincang cukup lama dan tanpa sadar waktu menunjukan pukul 6 sore, istri tercintanya harusnya sudah pulang.
Dengan cepat Randika mandi dan turun ke lantai 1.
Melihat bahwa Inggrid belum pulang, Randika mengobrol dengan Ibu Ipah yang sedang memasak itu sambil menunggu.
Kali ini Inggrid tidak terlalu sibuk jadi dia pulang tepat waktu.
Sambil menunggu Inggrid ganti pakaian, Randika sedang mencicipi bumbu yang ada pada kepiting itu.
Benar-benar enak seperti Inggrid. Eh! Maksudku bukan begitu, kenapa dirinya memiliki pemikiran seperti itu?
Tapi pemikiran itu tidak sepenuhnya salah. Ketika dia melihat istrinya yang cantik itu, dia benar-benar ingin memakannya.