Chapter 137: Pentingnya Komunikasi
Chapter 137: Pentingnya Komunikasi
Mendengar jawaban kakeknya ini, Randika nyaris muntah darah. Dia tidak tahu harus berkata apa pada Viona.
"Kalau begitu aku pergi dulu ya kek." Kata Randika dengan nada kecewa.
"Ah tunggu dulu! Aku kan cuma bilang kalau aku tidak bisa menyelamatkannya bukan aku tidak tahu caranya." Kakeknya ini sudah merasa marah pada Randika. Bisa-bisanya bocahnya itu meremehkan pengetahuannya?
Randika lalu kembali tersenyum. "Sudah kuduga kakek mau menggodaku, kakek memang tidak pernah mengecewakanku."
"Hum." Randika bisa melihat dengan jelas meskipun mereka terpisah jauh bahwa kakeknya ini sekarang sedang mengelus-elus jenggotnya sambil berwajah bangga.
"Jadi bagaimana caranya kek?" Tanya Randika.
"Kadang kau ini bodoh bukan main ya." Kakek ketiga menggaruk-garuk kepalanya lalu berkata dengan sedikit membentak. "Boneka ginseng adalah jawabannya. Selama nenek dari temanmu itu meminum darahnya boneka itu, dia harusnya bisa hidup beberapa tahun lagi."
Teman? Sepertinya kakeknya ini salah mengira, jelas-jelas Viona adalah ceweknya!
Namun, mendengar nama boneka ginseng membuat Randika kembali kebingungan. Dia benar-benar tidak bisa menangkap boneka itu selama ini. Bahkan Randika tidak pernah bisa menyentuhnya sama sekali selama ini!
Meskipun dia punya hubungan baik sama boneka ginseng itu, mana mungkin ia mau memberikan darahnya padanya? Bukankah itu sama saja dengan memotong sedikit bagian tubuhnya? Mana mungkin ia mau.
"Kek, tapi aku sama sekali tidak bisa menangkapnya. Boneka itu benar-benar lincah." Kata Randika dengan nada mengomel.
"Itu bukan urusanku." Kata kakek ketiga sambil tertawa. "Tapi aku yakin bahwa kamu sama boneka ginseng itu ditakdirkan bertemu."
Ditakdirkan?
Sejak kapan kakek ketiganya ini belajar meramal seperti kakek keempat?
Randika lalu menggaruk-garuk kepalanya, bingung harus berbuat apa. Namun, tiba-tiba dari balik telepon terdengar suara ledakan yang keras. Seakan-akan atap rumah yang dijatuhi oleh bom. Suara keras itu segera membuat Randika menjadi cemas.
Apa rumah kakeknya diserang?
"Uhuk, uhuk, uhuk." Untuk beberapa saat, suara batuk terus terdengar dari handphonenya. Lalu tiba-tiba suara marah kakeknya terdengar sangat keras. "Jika kamu menelepon aku lagi saat aku membuat ramuan obat, aku akan membotakimu saat kamu pulang!"
"Tutttttttt"
Teleponnya langsung diputus oleh kakeknya. Randika tidak bisa berkata apa-apa selama beberapa saat, apa memang salah dirinya kalau panci obat kakeknya itu meledak?
Setelah menyimpan handphonenya, Randika lalu berpikir bagaimana caranya dia bisa menemukan boneka ginseng itu. Seharusnya ia masih ada di kota Cendrawasih.
Setelah berpikir keras, Randika menyadari bahwa tempat favorit boneka ginseng itu mungkin adalah Universitas Cendrawasih, kantornya, dan tempatnya Indra. Setelah dipikir-pikir, kemungkinan boneka ginseng itu berada di tempat Indra lebih besar karena tenaga dalamnya Indra yang melimpah dan murni.
Oleh karena itu, Randika segera menuju rumah kontrak yang Indra tinggali. Jika boneka itu tidak ada di sana, barulah dia akan berpikir lagi.
Lari bagaikan petir, tidak butuh waktu lama untuk Randika tiba di rumahnya Indra. Ketika dia masuk ke dalam kamar Indra, Randika melihat Indra sedang duduk di kasurnya. Kemudian boneka ginseng itu terlihat sedang duduk di sampingnya sambil menunjuk langit-langit kamarnya. Lalu kedua makhluk ini terjatuh dan terbaring di kasur sambil tertawa.
Ternyata tebakannya benar!
Randika benar-benar gembira, setidaknya dia menemukan keberadaan boneka ini.
"Ah kakak seperguruan, tumben kamu datang ke sini?" Kata Indra dengan muka polosnya. Ketika mendengar Indra berbicara dengan seseorang, boneka ginseng itu menatap tamunya dan ternyata itu adalah Randika. Mulut kecilnya terlihat mengecap-ngecap, bagaikan sedang tertawa pada Randika. Kemudian boneka itu dengan cepat memanjat pundak Indra.
Sepertinya ia memiliki hubungan persahabatan yang kuat dengan Indra.
Randika merasa jengkel ketika melihat aksi boneka ginseng itu yang benar-benar arogan. Akan tiba waktunya tawa menyebalkan itu menjadi tangisan minta tolong tetapi waktu itu rasanya masih lama. Hari ini dia harus memohon pada boneka ginseng itu agar memberikannya darahnya.
Randika lalu berjalan menghampiri Indra dan boneka ginseng itu secara perlahan. "Apakah kau mengerti apa yang kukatakan?"
Melihat Randika yang membuka mulutnya, boneka ginseng ini juga menirunya; ia bagaikan bayi yang sedang belajar berbicara.
Baiklah, boneka ini tidak mengerti bahasa manusia.
Namun, hari ini Randika tidak boleh gagal. Nyawa nenek Viona adalah taruhannya jadi dia tidak boleh membiarkan boneka ini kabur lagi.
"Bisa aku meminta darahmu?" Tanya Randika pada boneka ginseng.
Randika merasa bodoh ketika dia bertanya. Mana mungkin boneka ini akan memberikannya secara cuma-cuma? Selama ini mereka adalah musuh.
Tidak mengerti apa yang dimaksud Randika, boneka ginseng ini cuma tertawa sambil meniru gerakan mulut Randika.
"Kak, apa yang akan kamu lakukan dengan darah itu?" Tanya Indra dengan wajah yang kebingungan.
"Aku memerlukannya untuk menyelamatkan nyawa orang." Randika lalu duduk dengan wajah tidak berdaya di sisi Indra. Dia akhirnya sadar betapa pentingnya komunikasi.
Setelah memikirkannya, Randika mengubah caranya berbicara menjadi bahasa isyarat.
"Tolong beri aku setetes darahmu." Randika menjulurkan jari telunjuknya dan berkat tenaga dalamnya, setetes darah keluar dari telunjuknya.
Melihat darah yang keluar dan ekspresi memohon Randika, ekspresi boneka ginseng tiba-tiba berubah. Lalu dia menggelengkan kepalanya sekuat tenaga. Dia melompat dari pundak Indra dan mendarat di lantai, seperti bersiap hendak kabur kapan saja.
Reaksi dari boneka ginseng ini tidak mengherankan. Karena selama ini dia menyerap esensi bumi dan langit selama beratus tahun, seluruh bagian tubuhnya merupakan harta karun khususnya darahnya yang memiliki semua esensi itu. Dan sekarang Randika terus terang mengincar dirinya karena menginginkan darahnya, siapa yang tidak takut karenanya?
"Tunggu! Tolong cegah dia untuk pergi!" Kata Randika pada Indra.
Indra dengan cepat berusaha membujuk boneka itu agar tidak pergi. Di bawah tatapan serius kakak seperguruannya, Indra berhasil membujuk sahabatnya itu untuk tetap berada di sini. Namun, tatapan mata boneka ginseng itu pada Randika terlihat penuh dengan kebencian.
Boneka itu merasa bahwa Randika adalah orang yang egois, manusia memang makhluk yang hanya memikirkan dirinya.
Mulut dari boneka ginseng itu tidak berhenti bergerak, tampak seperti ibu-ibu yang mengoceh. Ia mengekspresikan unek-uneknya selama ini.
"Aku benar-benar membutuhkan darahmu setetes saja. Kalau tidak orang yang kusayang akan mati." Terlepas dari boneka itu mengerti apa yang dikatakan oleh Randika, dia berusaha menjelaskannya secara perlahan melalui gerakan tangan dan isyarat lainnya.
"Orang itu akan mati, kau tahu mati bukan? Seperti ini." Lalu Randika memutar matanya hingga terlihat putih dan wajahnya menjadi pucat. Lalu dia terjatuh ke belakang sambil tidak bernapas. Melihat hal lucu ini, boneka ginseng itu tidak bisa berhenti tertawa.
Randika lalu berdiri dan melihat boneka itu tersenyum padanya. Dia sedikit merasa bodoh karena berusaha berkomunikasi dengan makhluk supernatural seperti dia.
Namun, boneka ginseng itu justru tidak bisa tertawa ketika Randika berusaha menjelaskannya kembali dengan cara yang sama.