Legenda Dewa Harem

Chapter 133: Mengajari Christina Piano



Chapter 133: Mengajari Christina Piano

Ketika berjalan dengan santai, Christina merasa pundaknya ditepuk.

Setelah menoleh, senyuman yang dia harap tidak pernah dilihatnya lagi muncul di hadapannya.

"Hmm." Melihat orang itu adalah Randika, Christina dengan cepat memalingkan wajahnya. Meskipun ada sedikit rasa senang melihat Randika, dia tetap berusaha tenang.

Melihat Christina yang cuek dan dingin itu, Randika tidak bisa berhenti tertawa. "Tina lihat sini dong."

Mendengar nama itu, Christina hampir terpeleset.

"Hei, jangan panggil aku itu!" Christina menoleh sambil marah-marah. Panggilan itu membuat dirinya teringat ketika Randika melihatnya setengah telanjang. Terlebih, dia teringat akan Randika yang meraba-raba dirinya di tengah kesulitannya itu.

Randika lalu berkata sambil tersenyum. "Jika aku tidak memanggilmu seperti itu, kau tidak mau menoleh."

Christina hanya memalingkan wajahnya. Kali ini wajahnya penuh dengan ekspresi dingin.

"Tina" Kata Randika lagi.

"Jangan panggil aku itu!" Lagi-lagi Christina marah dan membentaknya. Namun, kali ini ada dua murid yang lewat.

"Selamat siang Bu Christina."

Mendengar suara itu, Christina dengan cepat menjadi seorang guru. Dia berbalik dan tersenyum manis. "Selamat siang."

Ketika kedua murid itu pergi, Christina menatap tajam Randika yang sedang tertawa. Randika mendengar ucapan tersembunyi para murid itu yang menyangka dirinya adalah pacar dari gurunya.

Setelah kedua murid itu sudah cukup jauh, Randika bertanya pada Christina. "Apakah mantanmu berbuat masalah lagi?"

"Aku sudah mengganti kunci rumahku." Kata Christina.

"Oh?" Randika mengangguk. Ternyata perempuan ini cukup pintar tetapi dia sedikit khawatir bahwa karena kejadian itu, Christina akan membangun dinding di sekitarnya agar tidak ada lelaki yang bisa mendapatkan hatinya lagi.

"Sekarang apalagi yang membuatmu datang ke tempat ini?" Kali ini Christina yang bertanya.

"Aku hanya ingin bertemu denganmu." Kata Randika sambil tersenyum. "Lagipula, anak-anak muda ini mengingatkanku masa-masa mudaku dulu."

"Aku tidak bisa memahamimu." Kata Christina sambil menghela napas. Dia sempat senang mendengar kata pertama Randika tetapi kata-katanya berikutnya membuatnya tidak bisa memahami Randika sedang bercanda atau tidak.

Melihat Christina yang sedikit kecewa itu, Randika menyadari betapa cantiknya orang ini meskipun terlihat sedih.

"Apakah dadamu masih sakit?" Tanya Randika.

"Sudah jauh lebih baik." Kata Christina. "Sama sekali tidak terasa sakit."

Randika mengangguk puas. "Namun, jika kamu ingin itu sembuh total maka kamu perlu mendapatkan perawatan beberapa kali lagi. Kalau tidak, penyakit itu tidak akan pernah hilang."

"Oh ya?" Wajah Christina itu segera terlihat dingin. "Bukankah waktu itu kamu memberitahuku bahwa aku telah sembuh total?"

"Hahaha, apa aku berkata seperti itu dulu?" Randika terlihat malu dan memalingkan wajahnya.

Melihat Randika yang salah tingkah itu, suasana hati Christina menjadi lebih baik.

"Kamu sedang apa?" Randika melirik Christina yang tersenyum itu dan mengalihkan topik pembicaraan.

"Aku sedang berlatih piano." Christina langsung menunjukan lembaran musik piano di tangannya.

Randika mengambilnya dan memeriksanya.

"Ada bagian yang aku tidak bisa mainkan dengan baik." Kata Christina.

"Gampang sekali, aku akan mengajarkanmu."

Mendengar hal ini, Christina menatap Randika tajam-tajam. Dia lalu mengambil lembarannya itu dari tangan Randika. "Kau bisa main piano?"

Jelas pria ini berbohong!

Randika lalu berkata sambil tersenyum. "Tanganku ini serba bisa, piano hanyalah mainan bagiku. Jangan khawatir, aku tidak pernah berbohong. Sini, aku akan mengajarkannya padamu."

Christina benar-benar tidak percaya dengan kata-kata Randika. Tetapi setelah berpikir tentang bagaimana pria ini menyembuhkan penyakitnya, dia merasa mungkin saja dia tidak berbohong.

Apakah dia benar-benar bisa bermain atau tidak? Pertanyaan itu terus menerus muncul di pikirannya.

Christina lalu berkata pada Randika. "Ruangan praktik musik ada di sebelah sana."

Randika tersenyum dan berjalan berdampingan dengan Christina.

...........

Ruangan Praktik Musik

Tidak peduli sekolah manapun, ruangan musik merupakan tempat favorit para pria. Kenapa? Karena sarang para perempuan cantik dan elegan adalah tempat ini!

Bisa dikatakan bahwa orang-orang yang berada di jurusan musik biasanya adalah orang-orang tampan dan cantik, khususnya para perempuannya. Diiringi dengan melodi yang enak didengar, kecantikan mereka mendapatkan nilai tambahan di mata Randika.

Apalagi jurusan musik di universitas ini adalah yang terbaik di kota Cendrawasih jadi para bunga-bunga ini berkumpul di satu tempat yang sama.

Selain jurusan musik, jurusan perhotelan juga dikenal sebagai tempat perempuan cantik berkumpul. Kecantikan mereka cukup diacungi jempol dan menjadi bahan pembicaraan para lelaki.

Selama perjalanan mereka ke ruangan praktik musik, mata Randika terpaku pada kaki-kaki para perempuan cantik ini. Dia memberikan mereka angka 8 untuk kemulusannya. Sedangkan perempuan yang sedang berlatih biola itu dia berikan nilai 10!

Ketika melihat Randika yang seperti anak kecil itu, Christina sedikit merasa jengkel. "Bisakah kau biasa saja melihat mereka?"

Randika lalu menarik tatapan matanya dan tertawa. "Tidak ada salahnya kan? Aku cuma mengapresiasikan kecantikan mereka."

Kata-kata Randika benar-benar terus terang, Christina sampai tidak bisa berkomentar.

Christina membawa Randika ke sebuah ruangan di lantai 2. Setelah membuka pintu, ruangan itu penuh dengan orang.

Ruangan kelas ini kedap suara dengan berbagai instrumen musik yang terpasang. Di ruangan yang luas ini, terdapat 8 piano. Murid-murid jurusan musik ini sedang berlatih dan membaca lembaran musiknya.

Di bagian pojok dekat jendela, ada piano yang tidak terpakai. Christina membawa Randika ke piano itu.

"Baiklah." Randika lalu duduk sambil tersenyum. Dia lalu melemaskan jari-jarinya sambil menyesuaikan kursinya. Ketika dia hendak bermain, dia tiba-tiba berhenti.

Di tengah kebingungan Christina, Randika dengan nada malu mengatakan. "Aku tidak hafal lagunya."

"Aku kira kamu sudah menguasai lagu itu." Kata Christina sambil mendengus dingin. Dia lalu meletakan lembaran musik pianonya di depan Randika.

Randika lalu membolak-balik halaman tersebut dan menanyakan bagian mana yang Christina bingung. Christina lalu menunjukan Piano Sonata No. 8 Beethoven bagian 3rd Movements dan Croatian Rhapsody oleh Maksim Mrvica. Baginya kedua musik ini sedikit sulit

Setelah membaca skor itu dengan baik, Randika menoleh ke arah Christina. "Apa kamu tidak bisa memainkan musik yang cocok dengan gayamu?"

"Hmm? Kedua itu cocok dengan gaya bermainku." Kata Christina dengan wajah serius.

Lagu yang melankolis dan tragis seperti ini cocok buatmu?

Randika lalu menutup matanya dan menutup lembaran musiknya. Ketika dia membuka matanya, dia sudah siap.

Tiba-tiba, alunan piano sudah dia mainkan.

Nada halus dan kecil, bagaikan orang depresi sedang berbisik.

Piano Sonata No. 8 Beethoven bagian 3rd Movements merupakan salah satu kesukaan Randika, jadi dia sangat menghayati lagu ini.

Randika bahkan bisa melihat sebuah ruangan gelap di mana api dari tungku menyala dengan kecil sambil ditemani air hujan. Seluruh ruangan itu terlihat kosong dan gelap, hanya ada seorang pria duduk sendirian di depan piano dan memainkannya dengan pelan.

Melodi terus mengalir tanpa henti, lalu pria di ruangan itu seakan-akan mengeluarkan rasa depresinya yang terdalam dan tuts piano semakin cepat dimainkannya.

Christina benar-benar terkejut ketika melihat Randika bermain piano dengan penuh penghayatan. Di depan piano, sosok Randika benar-benar berubah. Sosok yang biasanya bercanda dan tidak pernah serius itu benar-benar terlihat elegan. Christina sendiri merasa dirinya larut dalam melodi dan hatinya benar-benar merasakan kisah tragis dari lagu ini.

Bagaimana bisa?

Christina yang menutup matanya itu bisa membayangkan bahwa dia sedang berada di ruangan gelap bersama dengan Randika. Mereka sedang duduk berdampingan tetapi jarak Randika semakin jauh dari dirinya tiap detiknya.

Suara dari piano ini semakin keras dan kencang, tiap tuts memberikan sensasi tragis.

Tiba-tiba, suara yang cepat itu dengan cepat turun drastis dan menjadi tenang. Seakan-akan seluruh hatinya sudah dia luapkan semua dan sekarang dia sedang mencari orang untuk dia ajak bicara.

Christina membuka matanya. Tanpa sadar dia ternyata duduk di samping Randika. Lalu setelah menutup matanya lagi, suara tuts piano itu tetap tenang dan memberikan sensasi unik yang membuat Christina larut di dalamnya.

Sambil mencuri-curi pandang, Christina menyukai wajah serius Randika. Randika yang diam dan terlihat dewasa ini terlihat tampan.

Akhirnya, perasaan depresi keluar dengan deras. Seperti air terjun, perasaan depresi ini meluap keluar dari hati pria yang duduk sendirian di ruangan gelap itu. Kesedihan, depresi, penyesalan Beethoven benar-benar bisa dibawakan oleh Randika dengan baik.

Para murid di ruangan ini juga terkejut. Mereka semua mengerti bagaimana sulitnya Sonata yang dikenal sebagai Sonata Pathetique itu. Namun, orang itu bisa memainkannya dengan sempurna.

Tidak bisa dipungkiri, semua orang berhenti beraktivitas dan memperhatikan Randika.

Para murid ini menutup mata mereka, mendengarkan alunan melodi dan membayangkan hal yang sama dengan Christina.

Sekarang suara piano terdengar melambat lagi. Setelah memainkan bagian terakhir dengan tangan kanannya, Randika membuka matanya.

Sesaat setelah membuka matanya, Randika benar-benar terkejut. Semua orang di ruangan itu menatapnya lekat-lekat. Mereka semua berhenti beraktivitas dan melihat dirinya bermain piano bahkan Christina yang duduk di sampingnya memasang wajah serius.

Ada apa ini? Apakah ada makanan nyangkut di gigiku?

Tidak, aku tadi pagi sudah gosok gigi.

Randika yang tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba mendengar suara tepuk tangan yang keras.

Plak, plak, plak, plak!

Semua orang bertepuk tangan dengan semangat, mereka kagum dengan permainan orang itu. Bahkan Christina tersenyum lebar melihat Randika, dia benar-benar membuatnya kagum.

"Terima kasih, terima kasih." Randika tertawa sambil tersipu malu. Dia hanya bermain menuruti isi hatinya, entah kenapa dia malah dipuji orang-orang.

Melihat sosok serius itu menjadi sosok pria yang genit dan tidak tahu diri lagi, Christina sedikit bingung. Dia berharap Randika tetap menjadi sosok tampan seperti sebelumnya.

"Lagi! Lagi!"

Tiba-tiba semua murid itu bersorak meminta Randika bermain sekali lagi.

"Lagi! Lagi!"

Suasana ruangan musik ini menjadi heboh dan antusias.

Randika sambil tersipu malu mengatakan. "Baiklah, karena semuanya yang meminta maka aku akan bermain beberapa lagu lagi."

Setelah itu, Randika kembali duduk dan bermain sekali lagi.

Tiba-tiba, seluruh ruangan sudah dipenuhi oleh melodi meledak-ledak seakan-akan mereka berada di tengah medan tempur. Seiring berjalannya lagu, pemandangan ini berubah menjadi pemandangan pasca perang. Di tengah tanah tandus itu, tumbuh sebuah bunga yang akhirnya mekar.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.